~: Parallel World :~
Pagi yang dingin di bulan Februari dan rintik hujan gerimis yang kemudian mengisi cekungan besar di jalan raya. Seorang lelaki dengan jaket kulit tebalnya berdiri sambil mengosokkan kedua tangannya sambil sesekali meniup-niup tangannya untuk mengusir kedinginan yang menghantuinya. Lelaki itu berdiri di sebuah balkon apartment-nya menatap pancuran 7 cupid yang meniupkan lantunan ombak dan pedestrian berwarna merah maroon di bawah. Kearah timur, ia bisa menatap museum negara yang dindingnya telah kusam dan rapuh, kearah barat , atap kurva hijau mesjid agung memantulkan cahaya matahari seakan ingin menunjukan masa kejayaanya. Tetapi, lelaki itu tidak sedang menatap ke timur ataupun barat. Ia menatap ke bawah, kearah sapu tangan merah mungil yang tergeletak di jalanan dekat kolam pancuran, dan ia sedang berpikir. Haruskah ia pergi ke rumah perempuan itu di ujung tenggara dari apartment tersebut? Tangannya mencengkram kuat-kuat kisi-kisi pagar besi, melepaskannya, mencengkramnya kembali kuat-kuat. Apakah ia harus mengunjunginya? Apakah harus?
Ia memutuskan untuk tidak menemui perempuan itu lagi. Perempuan itu suka menyeleweng dan mengritik, dan mungkin akan membuat hidupnya sengsara. Bisa jadi pula perempuan itu sama sekali tidak tertarik padanya. Maka, ia putuskan untuk tidak menemuinya lagi. Sebaliknya ia akan berkumpul bersama teman-temannya. Ia bekerja keras di pabrik obat, tempat ia hampir tidak pernah menaruh perhatian pada asisten manajernya yang perempuan. Ia pergi bersama teman-temannya ke café sederhana di dekat apartment-nya di malam hari untuk minum soda, belajar mencampur berbagai jenis minuman. Lalu tiga tahun kemudian, ia berjumpa dengan seorang perempuan lain di suatu butik ternama. Perempuan itu menyenangkan. Mereka bermain cinta setelah bersama beberapa bulan. Perempuan itu tidak pernah terlihat panik. Setelah satu tahun, ia menikahi perempuan itu dan pindah ke perumahan elit di sub-urban. Mereka hidup tenang, berjalan-jalan bersama mengelilingi taman indah, saling menjadi sahabat, menjadi tua dan bahagia.
***
Di dunia yang kedua, lelaki dengan jaket kulit itu memutuskan untuk menemui perempuan di ujung tenggara apartment-nya. Ia hanya tahu sedikit tentang perempuan itu. Bisa jadi perempuan itu penyeleweng dan gerak tubuhnya adalah cerminan dari wataknya yang gampang berubah, tetapi senyuman itu, tawa itu, penggunaan kata-kata yang cerdas itu. Ya, ia harus menemui perempuan itu lagi. Ia pergi ke rumah itu lagi, saling bertatap muka di pintu masuk, duduk bersama di sofa dan secepat itu di hatinya terketuk, tak berdaya oleh lengan putih perempuan itu. Mereka bermain cinta, gaduh, dan penuh nafsu. Perempuan itu membujuknya agar mau pindah ke daerah rumah perempuan itu. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya dan lantas bekerja di kantor pos dekat rumah perempuan itu. Ia terbakar oleh rasa cinta pada perempuan itu. Setiap sore ia pulang kerja. Mereka makan, bermain cinta, berdebat, perempuan itu mengeluh butuh uang yang lebih banyak lagi, si lelaki berdalih, perempuan itu melemparkan jambangan bunga ke arahnya, mereka bermain cinta lagi, si lelaki kembali bekerja di kantor pos. Perempuan itu mengancam meninggalkan si lelaki, tapi tak pernah dilakukannya. Lelaki itu hidup demi perempuan tersebut, dan ia bahagia dengan penderitaannya.
***
Di dunia yang ketiga, lelaki itu juga memutuskan untuk menemui perempuan dari tenggara itu. Ia hanya tahu sedikit tentang perempuan itu. Bisa jadi perempuan itu penyeleweng dan gerak tubuhnya adalah cerminan dari wataknya yang gampang berubah, tetapi senyuman itu, tawa itu, penggunaan kata-kata yang cerdas itu. Ya, ia harus menemui perempuan itu lagi. Ia pergi ke rumah itu lagi, saling bertatap muka di pintu masuk, minum teh bersama di taman. Mereka berbincang-bincang tentang pekerjaan si perempuan di perpustakaan dan si lelaki di pabrik obat. Setelah satu jam, perempuan itu mengatakan ia harus pergi menolong seorang teman, mengucapkan salam perpisahan, mereka berjabat tangan, Lelaki itu menempuh perjalanan pulang sejauh tiga puluh kilometer kembali ke apartment-nya, merasa hampa selama dalam perjalanan pulangnya, menyesali akan ketidak-beraniannya. Naik ke apartment-nya di lantai 4, berdiri di balkon, dan menatap dengan kosong ke arah sapu tangan merah mungil yang tergeletak di jalanan dekat kolam pancuran, di bawah.
===
Tiga rentetan peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi, serentak. Bagi dunia seperti ini, waktu memiliki tiga dimensi, seperti ruang. Dan karena satu benda bisa bergerak tegak lurus ke tiga arah, horizontal, vertical, dan diagonal, maka sebuah benda dapat berada dalam tiga masa depan yang tegak lurus. Setiap masa depan bergerak dalam arah waktu yang berbeda. Setiap masa depan adalah nyata. Apapun keputusan yang diambil, apakah lelaki itu akan mengunjungi perempuan di tenggara, atau membeli jaket kulit baru, dunia terbelah menjadi tiga, masing-masing dengan orang-orang yang sama tetapi dengan scenario yang berbeda. Dalam waktu, terdapat ketidakterbatasan dunia.
Beberapa orang memandang enteng pada keputusan-keputusan, mengatakan bahwa semua kemungkinan dari keputusan-keputusan itu akan terjadi. Dalam dunia semacam ini, bagaimana orang bertanggungjawab atas tindakannya? Sementara itu, yang lain bersikukuh bahwa tiap keputusan harus dipertimbangkan masak-masak dan dilaksanakan, sebab tanpa rasa tanggung jawab akan terjadi kekacauan. Orang-orang ini tidak puas menjalani kehidupan di dunia yang saling bertentangan, sepanjang mereka memahami alasan masing-masing.
Once Upon A Time – Part 3
Written by Andy Zheng on Friday, February 9, 2007 at 12:38 AM
8
comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time
Share this post - Email This
i
Subscribe to:
Posts (RSS)