BACK IN TIME*
Orang tidak dapat menyebrangi jalan raya, berbincang-bincang dengan seorang teman, memasuki suatu gedung, melihat suatu lorong tua tanpa bersesuaian dengan instrumen waktu. Waktu terlihat di semua tempat, menara jam, jam tangan, membagi tahun ke dalam bulan, dan bulan ke dalam hari, hari ke dalam jam, jam ke dalam detik. Pertambahan waktu berbaris rapih, yang lain datang setelah yang satu beranjak. Dan melebevihi jam yang manapun, ada satu waktu raksasa yang membentang di alam semesta, menetapkan hukum yang sama bagi semuanya. Di dunia ini, satu detik adalah satu detik. Waktu melaju dengan keteraturan yang rancak, dengan kecepatan yang sangat tepat, pada setiap sudut ruang. waktu adalah penguasa tanpa batas. waktu adalah kemutlakan.
Orang-orang yang religius memandang waktu sebagai bukti adanya Tuhan. Tak ada yang tercipta sempurna tanpa adanya sang pencipta. Tak ada yang universal yang tidak bersifat ketuhanan. Semua yang mutlak adalah bagian dari yang maha mutlak. Dimana ada kemutlakan disitulah waktu berada. Karena itulah para filsuf menepatkan waktu sebagai pusat keyakinan mereka. Waktu adalah pedoman untuk menilai semua tindakan. Waktu adalah kejernihan untuk melihat salah atau benar.
Dunia dimana waktu adalah mutlak adalah dunia yang menghibur. sementara gerak orang-orang tak terkirakan, gerak waktu terkirakan. Ketika orang diragukan, waktu adalah kepastian. Saat orang mengerem, waktu meloncat tanpa menengok lagi kebelakang. Di kedai-kedai kopi, di gedung-gedung pemerintahan, orang-orang menatap jam tangan mereka dan meminta perlindungan pada waktu, setiap orang tahu ada catatan saat dia dilahirkan, saat mengayunkan langkah pertama, saat nafsu pertama menyengat, saat ia mengucapkan salam perpisahan pada dunia.
* judul tidak berkaitan dengan isi, judul ini hanya menegaskan akan suatu eksistensi yang sudah lama tidak bersua
Once Upon A Time -Return-
1 comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time
Share this post - Email This
i
Once Upon A Time – Part 5
.: BABEL :.
Di Dunia Ini, akan segera tampak sesuatu yang ganjil. Kita tidak akan menjumpai rumah di lembah-lembah atau dataran rendah lainnya. Semua orang tinggal di pegunungan.
Suatu ketika di masa silam, ilmuwan menemukan satu kenyataan bahwa waktu berjalan lebih lambat di tempat yang jauh dari pusat bumi. Efeknya memang sangat kecil, tetapi bisa diukur dengan alat-alat yang sangat sensitif. Ketika fenomena ini diketahui, sejumlah orang yang ingin awet muda berpindah ke gunung-gunung. Kini semua rumah berdiri di atas Bukit barisan, Monte Rosa, Ural, Tibet, dan datarang tinggi lainnya. Adalah mustahil menjual pemukiman di tempat lain.
Beberapa orang tidak puas dengan sekedar berumah di gunung. Untuk mendapatkan efek yang maksimal mereka membangun rumah di atas tiang penyangga. Karena itulah di puncak-puncak gunung di seluruh dunia tampak berdiri rumah-rumah yang dari kejauhan bagai sekawanan heron, spoonbill, Ibis atau flaminggo yang berdansa sambil memperhatikan kaki-kai kurus mereka, takut saling terinjak. Orang-orang yang berhasrat hidup sangat lama, membangun pula rumah di atas tiang penyangga yang sangat tinggi pula. Bahkan, beberapa rumah berdiri setengah mil diatas tiang penyangga dari pancang-pancang tiang Gedung pencakar langit. Ketinggian menjadi status. Ketika seseorang menatap tetangganya yang ada di atas lewat jendela dapur, ia percaya bahwa tetangganya itu tidak menua secepat dirinya, tidak kehilangan rambut hingga akhir, tidak berkeriput, dan tetap memiliki hasrat bermain cinta. Sebaliknya, seseorang yang melongok ke bawah, menganggap penghuninya kehabisan tenaga, lemah, dan pikun. Beberapa orang membual bahwa mereka menjalani seluruh hidupnya di ketinggian, lagir di rumah tertinggi di puncak gunung tertinggi, dan tidak pernah sekalipun turun. Mereka merayakan kemudaan mereka dengan senantiasa menatap cermin dan berjalan telanjang di balkon-balkon.
Kini atau nanti, beberapa urusan penting memaksa orang untuk turun dari rumah. Mereka melakukannya dengan bergegas, biru-buru menuruni tiang seperti pemadam kebakaran yang bergegas pergi menyelamatkan anak manusia, berlari dan bergelayutan serta melompat seperti pria hutan. Mereka berlari sambil setengah menjinjit dan melompat berharap dapat secepatnya menyelesaikan permasalahan mereka dan segera pulang. Mereka tahu setiap langkah ke bawah , waktu akan berjalan lebih cepat dan mereka menjadi cepat tua pula. Sementara itu orang-orang yang tinggal di bawah tidak pernah duduk. Mereka berlari, sembari menjinjing tas kerja atau bahan makanan mereka.
Sejumlah kecil warga di tiap kota tak peduli apakah umur mereka menua lebih cepat beberapa detik dari tetangga mereka. Jiwa-jiwa pemberani ini menuju ke dataran rendah pada hari-hari tertentu, bersantai di bawah pohon, berenang riang di danau yang terletak di ketinggian yang lebih hangat, berguling-guling di tanah, Mereka nyaris tidak pernah melihat jam tangan. Juga tidak peduli apakah sekarang hari kamis atau senin. Ketika orang lain melintasi mereka terburu-buru dan pandangan menghina, mereka hanya tersenyum.
Lambat laun , orang lupa pada alasan mengapa tinggal di tempat yang lebih tinggi adalah lebih baik. Meskipun begitu, mereka tatap betahan hidup di gunung-gunung. Sedapat mungkin menghindari daerah cekungan, mengajari anak-anak mereka agar menjauhi anak-anak yang tinggal di tempat yang lebih rendah, karena yang tinggal di tempat lebih rendah tak lebih baik dari iblis dan setan-setan, atau orang kelas rendah yang tidak mengerti peradaban. Mereka tahan terhadap hawa dingin pengunungan, menikmati ketidaknyamanan itu sebagai bagian dari pendidikan. Mereka bahkan meyakini bahwa udara yang tipis bagus untuk tubuh, dan dengan mengikuti logika itu, mereka menjalani diet yang keras, makan hanya dalam porsi kecil. Akibatnya populasi di ketinggian menjadi setipis udara, keropos, dan menjadi tua sebelum waktunya.
1 comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time
Share this post - Email This
i
Once Upon A Time – Part 4 -&- Order And Chaos – Part III
.: Biggest Match on The Earth :.
Di dunia ini ada dua jenis waktu. Waktu mekanis dan waktu tubuh. Waktu yang pertama kaku, laksana pendulum besi raksasa yang berayun maju-mundur, bergerak membuat sequence yang tetap. Waktu yang kedua bergeliang-geliut seperti ikan di rawa kering haus akan kehidupan dan terus mencari dan bergerak, seakan dapat memperpanjang hidupnya. Waktu pertama tidak dapat ditolak karena itu merupakan sabda bahagia dari langit, mutlak, yang telah ditetapkan dari generasi ke generasi. Waktu yang kedua menyusup diantara relung hati dan kanal-kanal otak untuk mengambil keputusan, tanpa ada hukum dan dalil yang pasti.
Beberapa orang tidak yakin bahwa waktu mekanis itu ada. Ketika melewati jam raksasa di taman kota mereka tidak melihatnya, juga tidak mendengar bunyi loncengnya saat mengirimkan paket-paket ke kantor pos atau saat berjalan-jalan di taman bunga. Mereka menggenakan jam di pergelangan tangan, tetapi itu sekedar ornament atau semacam sopan-santun bagi yang ingin memberikannya sebagai hadiah, Mereka juga tidak menyimpan jam dinding di rumah. Sebagai gantinya mereka mendengarkan detak jantung. Mereka merasakan irama suasana hati dan berahi mereka. Mereka makan saat lapar, dan pergi ke tempat kerja di perusahaan topi perempuan atau ahli kimia kapan saja ketika terbangun dari tidur, bermain cinta sepanjang hari. Beberapa orang bahkan menertawakan pemikiran tentang waktu mekanis. Mereka tahu bahwa waktu bergerak tidak beraturan, bagai ombak di laut. Mereka tahu bahwa waktu terus maju tanpa beban di punggungnya seperti saat mereka buru-buru membawa seorang anak yang terluka ke rumah sakit, atau ketika tatapan tetangga mulai sinis dan terasa menganggu. Mereka juga tahu bahwa waktu melaju cepat melintasi padang yang kaya akan visi tatkala sedang makan enak bersama teman-teman, atau ketika menerima pujian atau kebohangan dalam pelukan kekasih gelap.
Lalu, ada sejumlah orang yang berpikir bahwa tubuh mereka tidak ada, void, dan penuh akan kehampaan. Mereka hidup dengan waktu mekanis. Mereka bangun pada pukul 4 pagi. Untuk melakukan ritual mereka sehari-hari. Makan siang tepat pada tengah hari dan makan malam pada pukul enam petang. Mereka memenuhi janji tepat waktu, persis seperti yang ditunjukkan jam. Mereka bermain cinta antara pukul delapan malam hingga sepuluh malam. Bekerja empat puluh jam seminggu, membaca koran minggu pada hari minggu, bermain catur pada tiap malam selasa. Ketika perut mereka bernyanyi, mereka mengamati jam tangan mereka untuk melihat apakah sudah waktunya untuk makan. Ketika mereka tengah asyik menikmati suatu konser, mereka menatap kearah jam dinding yang ada di atas panggung untuk melihat apakah sudah waktunya untuk pulang. Mereka sadar bahwa tubuh bukanlah suatu keajaiban, melainkan suatu kumpulan bahan kimia, jaringan, dan impuls saraf. Pikiran tak lebih dari gelembung listrik sinapsis dalam otak. Rangsangan seksual tak lebih dari aliran senyawa kimia sang hormon pada ujung syaraf tertentu. Kesedihan tak lebih dari asam memuakan yang menusuk di otak kecil. Pendeknya, tubuh adalah mesin yang tunduk pada hukum listrik dan mekanika sebagaimana electron atau jam. Karena itulah , tubuh harus disapa dengan persamaan-persamaan fisika. Jika tubuh sedang berbicara, ia melulu berbicara tentang beberapa tuas dan tekanan. Tubuh adalah sesuatu untuk diperintah bukan untuk dipatuhi.
Membawa serta udara malam sungai, seseorang melihat bukti dua dunia menjadi satu. Seorang tukang perahu sedang mengukur posisinya yang tidak jelas dengan menghitung detik-detik yang hanyut dalam alur air. “Satu, tiga meter, Dua, enam meter, Tiga, sembilan meter” suaranya membelah kegelapan malam dengan ucapan yang jernih dan tegas. Di bawah cahaya lampu di jembatan besar yang telah termakan usia, dua orang bersaudara yang tidak pernah berjumpa selama bertahun-tahun minum dan tertawa bersama. Lonceng gereja berdenting sepuluh kali. Dalam beberapa detik, lampu-lampu di kota berkedip-kedip dengan sempurna, suatu kesempurnaan mekanis ,seperti kesimpulan geometri Euklidan. Berbaring di taman indah ditemani gemericik bunyi air mancur kolam ikan, sepasang kekasih menatap langit dengan malas, terbangun dari tidur yang lelap karena denting lonceng di kejauhan, terkejut menyadari bahwa malam telah tiba.
Ketika dua waktu bertemu, yang terjadi adalah keputusasaan, seperti keputusasaan sepasang kekasih dimana waktu mereka telah berlalu. Ketika dua waktu menujuh arah yang berbeda hasilnya adalah kebahagian. Karena itulah, secara menakjubkan, seorang pengacara, perawat, tukang roti dapat mengkehendaki satu dunia, tidak keduanya. Tiap waktu adalah benar, tetapi kebenaran itu tidak selalu sama.
Seperti suatu koin logam dimana terdapat sisi yang terang dan gelap… dan semua orang dapat melihat baik sisi terang maupun sisi gelap si logam. Namun tidak ada seorang pun yang dapat melihat sisi gelap dan sisi terang si logam secara bersamaan(tidak saling bergantian) pada detik yang sama dan tempat yang sama.
5
comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time,
Filosofi Order and Chaos
Share this post - Email This
i
Once Upon A Time – Part 3
~: Parallel World :~
Pagi yang dingin di bulan Februari dan rintik hujan gerimis yang kemudian mengisi cekungan besar di jalan raya. Seorang lelaki dengan jaket kulit tebalnya berdiri sambil mengosokkan kedua tangannya sambil sesekali meniup-niup tangannya untuk mengusir kedinginan yang menghantuinya. Lelaki itu berdiri di sebuah balkon apartment-nya menatap pancuran 7 cupid yang meniupkan lantunan ombak dan pedestrian berwarna merah maroon di bawah. Kearah timur, ia bisa menatap museum negara yang dindingnya telah kusam dan rapuh, kearah barat , atap kurva hijau mesjid agung memantulkan cahaya matahari seakan ingin menunjukan masa kejayaanya. Tetapi, lelaki itu tidak sedang menatap ke timur ataupun barat. Ia menatap ke bawah, kearah sapu tangan merah mungil yang tergeletak di jalanan dekat kolam pancuran, dan ia sedang berpikir. Haruskah ia pergi ke rumah perempuan itu di ujung tenggara dari apartment tersebut? Tangannya mencengkram kuat-kuat kisi-kisi pagar besi, melepaskannya, mencengkramnya kembali kuat-kuat. Apakah ia harus mengunjunginya? Apakah harus?
Ia memutuskan untuk tidak menemui perempuan itu lagi. Perempuan itu suka menyeleweng dan mengritik, dan mungkin akan membuat hidupnya sengsara. Bisa jadi pula perempuan itu sama sekali tidak tertarik padanya. Maka, ia putuskan untuk tidak menemuinya lagi. Sebaliknya ia akan berkumpul bersama teman-temannya. Ia bekerja keras di pabrik obat, tempat ia hampir tidak pernah menaruh perhatian pada asisten manajernya yang perempuan. Ia pergi bersama teman-temannya ke café sederhana di dekat apartment-nya di malam hari untuk minum soda, belajar mencampur berbagai jenis minuman. Lalu tiga tahun kemudian, ia berjumpa dengan seorang perempuan lain di suatu butik ternama. Perempuan itu menyenangkan. Mereka bermain cinta setelah bersama beberapa bulan. Perempuan itu tidak pernah terlihat panik. Setelah satu tahun, ia menikahi perempuan itu dan pindah ke perumahan elit di sub-urban. Mereka hidup tenang, berjalan-jalan bersama mengelilingi taman indah, saling menjadi sahabat, menjadi tua dan bahagia.
***
Di dunia yang kedua, lelaki dengan jaket kulit itu memutuskan untuk menemui perempuan di ujung tenggara apartment-nya. Ia hanya tahu sedikit tentang perempuan itu. Bisa jadi perempuan itu penyeleweng dan gerak tubuhnya adalah cerminan dari wataknya yang gampang berubah, tetapi senyuman itu, tawa itu, penggunaan kata-kata yang cerdas itu. Ya, ia harus menemui perempuan itu lagi. Ia pergi ke rumah itu lagi, saling bertatap muka di pintu masuk, duduk bersama di sofa dan secepat itu di hatinya terketuk, tak berdaya oleh lengan putih perempuan itu. Mereka bermain cinta, gaduh, dan penuh nafsu. Perempuan itu membujuknya agar mau pindah ke daerah rumah perempuan itu. Lelaki itu meninggalkan pekerjaannya dan lantas bekerja di kantor pos dekat rumah perempuan itu. Ia terbakar oleh rasa cinta pada perempuan itu. Setiap sore ia pulang kerja. Mereka makan, bermain cinta, berdebat, perempuan itu mengeluh butuh uang yang lebih banyak lagi, si lelaki berdalih, perempuan itu melemparkan jambangan bunga ke arahnya, mereka bermain cinta lagi, si lelaki kembali bekerja di kantor pos. Perempuan itu mengancam meninggalkan si lelaki, tapi tak pernah dilakukannya. Lelaki itu hidup demi perempuan tersebut, dan ia bahagia dengan penderitaannya.
***
Di dunia yang ketiga, lelaki itu juga memutuskan untuk menemui perempuan dari tenggara itu. Ia hanya tahu sedikit tentang perempuan itu. Bisa jadi perempuan itu penyeleweng dan gerak tubuhnya adalah cerminan dari wataknya yang gampang berubah, tetapi senyuman itu, tawa itu, penggunaan kata-kata yang cerdas itu. Ya, ia harus menemui perempuan itu lagi. Ia pergi ke rumah itu lagi, saling bertatap muka di pintu masuk, minum teh bersama di taman. Mereka berbincang-bincang tentang pekerjaan si perempuan di perpustakaan dan si lelaki di pabrik obat. Setelah satu jam, perempuan itu mengatakan ia harus pergi menolong seorang teman, mengucapkan salam perpisahan, mereka berjabat tangan, Lelaki itu menempuh perjalanan pulang sejauh tiga puluh kilometer kembali ke apartment-nya, merasa hampa selama dalam perjalanan pulangnya, menyesali akan ketidak-beraniannya. Naik ke apartment-nya di lantai 4, berdiri di balkon, dan menatap dengan kosong ke arah sapu tangan merah mungil yang tergeletak di jalanan dekat kolam pancuran, di bawah.
===
Tiga rentetan peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi, serentak. Bagi dunia seperti ini, waktu memiliki tiga dimensi, seperti ruang. Dan karena satu benda bisa bergerak tegak lurus ke tiga arah, horizontal, vertical, dan diagonal, maka sebuah benda dapat berada dalam tiga masa depan yang tegak lurus. Setiap masa depan bergerak dalam arah waktu yang berbeda. Setiap masa depan adalah nyata. Apapun keputusan yang diambil, apakah lelaki itu akan mengunjungi perempuan di tenggara, atau membeli jaket kulit baru, dunia terbelah menjadi tiga, masing-masing dengan orang-orang yang sama tetapi dengan scenario yang berbeda. Dalam waktu, terdapat ketidakterbatasan dunia.
Beberapa orang memandang enteng pada keputusan-keputusan, mengatakan bahwa semua kemungkinan dari keputusan-keputusan itu akan terjadi. Dalam dunia semacam ini, bagaimana orang bertanggungjawab atas tindakannya? Sementara itu, yang lain bersikukuh bahwa tiap keputusan harus dipertimbangkan masak-masak dan dilaksanakan, sebab tanpa rasa tanggung jawab akan terjadi kekacauan. Orang-orang ini tidak puas menjalani kehidupan di dunia yang saling bertentangan, sepanjang mereka memahami alasan masing-masing.
8
comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time
Share this post - Email This
i
Once Upon A Time - Part 2
Soul River
Di dunia ini, waktu seperti aliran air, kadang terbelokkan oleh secuil puing, atau oleh tiupan angin sepoi-sepoi. Entah kini atau nanti, gangguan kosmis akan menyebabkan aliran anak sungai waktu berbalik dari aliran utama menuju ke aliran sebelumnya. Ketika hal ini terjadi, burung-burung, tanah, orang-orang yang berada di anak sungai itu menemukan diri mereka tiba-tiba terbawa ke masa silam.
Orang-orang yang tersangkut ke masa silam itu sangat mudah dikenali. Mereka mengenakan busana berwarna gelap dan suram, dan berjalan dengan berjingkat, berusaha untuk sama sekali tidak mengeluarkan suara dan berusaha untuk tidak menginjak sehelai rumput pun. Mereka takut bahwa perubahan yang mereka lakukan di masa silam akan membawa akibat yang drastis di masa mendatang.
Seperti hal ini, misalnya, seorang perempuan berjalan terbungkuk-bungkuk di bawah kegelapan bayangan satu lorong. Suatu tempat yang ganjil bagi seorang kelana dari masa depan, tetapi di situlah ia sekrang berada. Pejalan kaki yang berlalu menatapnya tanpa menghentikan langkah mereka. Perempuan itu merapat ke satu pojokan, lalu bergerak ke seberang jalan, dan tubuhnya gemetar ketakuan di tempat gelap lainnya, Ia ngeri kakinya menyepak dan menerbangkan debu.
Perempuan dari masa depan ini, tanpa ada peringatan, masuk ke dalam masa itu, di tempat itu, dan sekarang sedang berusaha agar dirinya tidak terlihat di tempatnya yang gelap. Ia tahu akan segala kelahiran, kematian, kebangkitan dan perperangan bahkan nyanyian burung-burung di waktu tertentu, letak yang tepat dari kursi-kursi, dan hembusan angin yang menghebat. Ia meringkuk di kegelapan dan tidak membalas tatapan orang-orang. Ia meringkuk dan menunggu aliran waktu miliknya sendiri.
Ketika seorang kelana dari masa depan harus berbicara, ia tidak bercakap tetapi merintih. Ia kesakitan. Bila ia membuat perubahan sedikit saja pada apa pun, ia bisa menghancurkan masa depan. Pada saat yang sama, ia dipaksa menjadi saksi atas berbagai peristiwa tanpa bisa mengubahnya. Ia iri pada orang-orang yang hidup dalam waktu milik mereka sendiri, yang bisa bertindak sesuai kemauan mereka sendiri, bisa membangun masa depan, bisa mengabaikan dan membelokkan akibat dari tindakan mereka. Tetapi, ia tak bisa melakukannya. Ia adalah gas yang tak berdaya, hantu, alas tilam tanpa jiwa. Ia telah kehilangan kehidupan pribadinya. Ia adalah orang buangan dari sang waktu.
Orang-orang celaka dari masa depan ini bisa dijumpai di tiap desa dan tiap kota, bersembunyi di bawah atap bangunan, di ruang-ruang bawah tanah, di kolong-kolong jembatan dan di ladang-ladang tandus. Mereka tidak bisa ditanyai tentang peristiwa-peristiwa masa depan, perkawinan-perkawinan, kelahiran-kelahiran, situasi keuangan, penemuan-penemuan, dan keuntungan-keuntungan yang bisa diraih. Sebaliknya mereka ditingglkan dan perlu dikasihani.
NB: cerita ini setengahnya adalah fiksi, namun di sisi lainnya ada hubungan dgn pre-destiny
5
comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time
Share this post - Email This
i
Once Upon A Time - Part 1
.:De Javu:.
ANDAIKAN waktu adalah suatu lingkaran, yang mengitari dirinya sendiri. Demikianlah, dunia mengulang dirinya sendiri, setepat-tepatnya, dan selama-lamanya.
Biasanya, orang tidak tahu bahwa mereka akan menjalani kehidupan mereka kembali. Pedagang tidak tahu bahwa mereka akan saling menawar lagi dan lagi. Politikus tidak tahu bahwa mereka akan berseteru dari mimbar berulang-ulang dalam putaran waktu. Orang tua menikmati sepuas-puasnya tawa pertama anal-anak mereka seolah-olah tak akan mendengar lagi. Sepasang kekasih yang pertama kali bermain cinta malu-malu melepas busana, terkesima oleh tubuh yang gemulai, dan kulit yng lembut. Bagaimana gerangan mereka tahu bahwa setiap kerlingan mata, tiap sentuhan, akan terulang lagi tanpa henti, persis seperti sebelumnya? Persis seekor semut yang memutari ulir lampu kristal, tidak tahu bahwa ia akan kembali ke tempat semula
Dalam dunia dimana waktu adalah sebuah lingkaran, setiap jabat tangan, setiap ciuman, setiap kelahiran, setiap kata akan berulang sama percis. Begitu juga dengan peristiwa ketika dua orang sahabat berhenti berteman, ketika keluarga menjadi berantakan lantaran uang, ketika kata-kata busuk keluar dari mulut suami istri yang sedang bertengkar, ketika kesempatan menjadi sirna karena dibakar api cemburu, ketika janji tak ditepati.
Dan karena segala sesuatu akan berulang kembali di masa depan, maka yang terjadi saat ini telah terjadi jutaaan kali sebelumnya. Beberapa orang di setiap kota, dalam mimpi mereka, secara samara-samar menyadari bahwa segala sesuatu yang mereka mimpikan telah terjadi di masa silam. Merekalah orang-orang yang hidupnya tidak bahagia. Mereka merasa bahwa semua penilaian yang keliru, perbuatan yang salah serta ketidakberuntungan mereka telah mengambil tempat dalam putaran waktu sebelumnya. Di malam yang sunyi senyap, warga kota yang terkutuk itu bergumul dalam selimnut, tak bisa tidur, dibenturkan pada pengetahuan bahwa mereka tak mampu mengubah satu tindakan pun, bahkan satu gerak tubuh. Kesalahan yang telah mereka lakukan akan berulang secara précis dalam kehidupan ini, sebagaimana kehidupan sebelumnya. Ketidakberuntungan yang berlipat inilah satu-satunya tanda bahwa waktu adalah suatu lingkaran. Karena itulah, di setiap kota, di larut malam, di jalan-jalan lengang, dan di balkon-balkon penuh rintihan mereka.
Andy Tenario The Dreamer
9
comments
Categories:
Filosofi Once Upon A Time
Share this post - Email This
i